Sudah beberapa hari, tanggung jawab di dapur diambil alih oleh Papa. Beliau yang membuatkan masakan untuk dimakan sehari-hari. Tentu saja dengan pertimbangan dirinya sendiri dan sesekali bertanya padaku menu apa yang ingin kumakan. Kebayanyak aku menurut saja. Sekali dua kali aku komentar bahwa tidak perlu memasak dalam jumlah banyak dan terlalu banyak lauk, karena hanya kami yang makan. Beberapa menu berhasil membuat selera makan pulih dan kembali bergelora. Beberapa lebihnya, aku sama sekali tidak minat menyentuhnya. Seperti tidak cocok saja untuk lidahku.
Beda lagi kalau harus dibandingkan dengan masakan mama yang biasa, meskipun lauk sederhana aku tidak bisa menolak untuk mencicipi dan kemudian jatuh cinta pada rasa dan sajian setelahnya. Menu papa terkesan lebih kompleks dan dalam jumlah yang selalu berlebih menurutku. Padahal aku sudah bilang, yang makan hanya kita. Akan mubadzir bila nanti justru tidak habis dan malah terbuang. Ini memancing kesalku. Papa bersikukuh, beliau bilang aku bisa simpan untuk stok kemudian dihangatkan kembali ketika waktu makan selanjutnya. Maksudnya baik.
Hari ini sudah masuk hari ke tiga dengan lauk yang sama. Hal ini yang sebenarnya tidak aku suka. Mengulang lauk yang sama setiap hari, menghangatkan kembali makanan bersantan yang mana sungguh tidak baik dilakukan berulang kali. Pagi-pagi di waktu sahur perutku sudah menolak untuk dimasuki makanan. Mulut bekerja sama untuk tidak membuka sama sekali. Tapi, ketika makanan yang sudah terlanjur aku ambil sedikit untuk mengganjal perut tiba sempurna di piring aku termangu memegang sendok dan melihat nasi beserta lauknya.
Buru-buru aku mengucap istighfar berulang kali. Menenangkan hati yang sedari tadi menggerutu karena perkara lauk yang sama setiap hari. Perkara menu papa yang justru terlalu kompleks menurut versiku.
Kenapa aku harus kufur pada sebuah nikmat?
Seketika aku merasa bersalah pada papa, pada mama, pada diriku sendiri, terlebih pada Allah. O ow. Bukannya bersyukur karena papa masih ada untuk sementara melengkapi kebutuhanku karena mama tidak bisa, aku malah banyak protes ini itu ketika beliau melakukan semuanya dengan rasa sayang dan cinta untukku. Bukannya aku bersyukur karena aku masih punya makanan sahur dan berbuka yang enak dan lengkap ketika di luar sana mungkin ada saudaraku yang untuk makan saja susahnya luar biasa, aku malah malas-malasan menyuapkan nasi ke mulut yang padahal tanpa effort. Bukannya aku bersyukur Allah memberikan kemudahan di setiap urusanku, aku malah lalai untuk memaknainya.
اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ.
Semoga Allah memaafkan aku atas segala lalai dan kufur ini.