Meniadakan

Meniadakan dan menganggap tiada adalah hal berbeda tapi tetap saja menyakitkan. Tidak lantas sembuh dengan sendirinya. Perlu waktu dan penerimaan. Baik dari sisi warasku dan sisi egoku.

Aku tidak lantas harus selalu dewasa menghadapimu, kadang ada kalanya aku seperti bunga kecil tak terlihat dan terinjak. Kamu lupa, aku juga bisa rapuh dan butuh perlindungan.

Besok-besok, beban itu boleh dibagi tapi kumohon berjalanlah dengan tegak tanpa harus menginjak dan lantas meninggalkanku di belakang. Kamu tidak boleh meniadakan eksistensiku yang ada bersamamu sejak lama.

Bukankah kamu merasakan resah kalau aku tidak ada? Oh, atau bisa jadi kau memang tidak peduli. Lantas untuk apa aku harus?

Menjadi Tiga Puluh

Katanya setelah menjadi tiga puluh itu sudah lebih dari cukup untuk disebut dewasa. Matang secara angka juga ajeg secara logika. Nyatanya, banyak kurang tepatnya di sini dan sana.

Bekerja sudah lama. Pernah sembari menempuh pendidikan lanjutan. Atau menuntaskan keinginan untuk datang ke tempat-tempat di luar sana yang tadinya hanya dilihat di lembaran peta.

Singkat cerita bertemu dengan manusia yang katanya mau bertemu tatap muka setiap hari hingga tua, manusia yang ternyata bukan juga disebut cinta pertama. Kemudian mulai hidup beriringan. Berjalan bersama tapi dengan pola-pola hasil bicara ala karib sekaligus keluarga. Datang kaki kecil ikut meramaikan perjalanan. Sekarang masih selangkah dua langkah. Esok lusa bisa jadi dia berlari dan atau sambil membawa kami.

Tiga puluh rasanya seperti masih awal dua puluh. Sesekali letupan rasa ingin tahu membungkus neuron secara utuh. Mendorong sisi-sisi egoisme individu muncul secara arogan. Kenapa harus membagi masa dan raga sekaligus untuk macam-macam hal yg berbeda. Tapi itu semua adalah jawaban dari doa-doa. Sebelumnya.

Menjadi tiga puluh dengan apa yang dimiliki saat ini, sudah selayaknya banyak berterimakasih dan bersyukur pada-Nya. Tidak ada daya dan upaya di atas kekuatan ini selain karena-Nya.

Terima kasih untuk tetep bergerak sampai hari ini, Ria.

Menjadi Peka

Menjadi peka, seringkali justru membutuhkan orang lain. Tidak bisa lancar dengan diri sendiri. Butuh perpanjangan tangan sebuah kesempatan singgah di kepala. Mengendap untuk dicerna dan dirasa. Menjadi peka juga bukan hanya tugas salah satu, tidak hanya pria atau wanita saja. Tapi keduanya sebagai makhluk hidup, manusia.

Bahkan belakangan, ternyata menjadi peka tidak melulu hanya persoalan dengan makhluk hidup saja. Benda mati pun butuh menjadi soal atas nama peka.

Katanya, menjadi peka itu bisa menguntungkan kita dalam beberapa hal. Di antaranya adalah mudah membaca kesempatan yang muncul, karena biasanya yang tingkat kepekaannya tinggi bisa dengan mudah menangkap apa maksud tersembunyi di balik sebuah kejadian. Ketika ada kesempatan baik di sana, maka si Peka bisa dengan anggun berjalan menghampirinya. Begitupun berlaku untuk segala hal yang sifatnya membutuhkan kewaspadaan, maka tingkat kepekaan akan sangat berguna untuk menambah kemantapan hati segera bergerak entah melawan atau cukup menjauhi bahaya yang datang.

Sayangnya, butuh waktu dan rasa untuk menjadi peka.

Aku Menulis Karena Aku Mudah Lupa

Aku menulis karena aku mudah lupa. Sayangnya aku bahkan juga lupa untuk menulis. Nah lho! Manusia. Seperti ingin bilang ini lumrah dan kerap kali terjadi. Aku menulis karena aku lebih suka tulisan tanganku tetap lestari. Sayangnya kian hari tulisan tanganku berubah menjadi lebih carut marut. Dokter bukan apoteker pun bukan. Tapi kalau ditanya apakah aku senang menulis? Iya, aku masih senang. Masih.

Sejatinya memang tidak praktis di era serba digital kini. Apa-apa yang sifatnya manual jadi butuh lebih banyak step untuk dilakukan. Tapi justru seperti harta karun! Kutemukan bertumpuk-tumpuk diary dan agenda masa-masa muda dan isinya nostalgia! Membawa aku ke perasaan-perasaan berbeda hanya karena tulisan tangan dengan gurat berbeda juga.

Si sotoy.

Kalau lagi kesal, tulisan tangan cenderung lebih emosional menekan dan asal-asalan. Beda cerita kalau sedang riang gembira. Seperti kami bisa lihat bunga-bunga dan rangkaian baris rapi di sepanjang halaman. Aku menulis karena itu. Karena segalanya bisa aku lepaskan di tulisanku. Karena segalanya tidak perlu aku sembunyikan di balik senyuman yang bisa saja tidak bernyawa.

Satu Semester

Sejatinya mengingat kematian adalah cara terbaik untuk yang mau coba kembali ‘baik’.

Tidak terasa ya. Bohong, padahal rasanya setiap hari tiap kali teringat pasti sesak sekali. Tidak ada mama di sini lengkap membuat perjalanan menjadi seorang ‘mama’ makin terasa mistis sekaligus melankolis. Tidak ada mama di sini sempurna membuat segala-galanya harus diterima dengan jauh lapang dada. Teriring selalu do’a untukmu, Ma.

Menjadi ‘mama’ oh begini ya rasanya!

Berjalan dalam seluk beluk labirin menjadi ‘mama’ untuk seorang manusia lain. Ditambah seringkali berputar-putar hanya di tempat yang sama dan selalu kembali lagi, ke diri sendiri. Satu-satu kami ditampakkan memori dan baru mengerti saat ini. Kenapa begitu kenapa begini. Ternyata dijalani sendiri barulah mengerti.

Menjadi ‘mama’ memang tidak akan pernah seperti mama, tapi semoga jalanku kuat aku lalui dengan kedua kaki ini. Meski tidak dengan mama, ada dia yang membersamai.

Terselip Sebuah Syukur

Sudah beberapa hari, tanggung jawab di dapur diambil alih oleh Papa. Beliau yang membuatkan masakan untuk dimakan sehari-hari. Tentu saja dengan pertimbangan dirinya sendiri dan sesekali bertanya padaku menu apa yang ingin kumakan. Kebayanyak aku menurut saja. Sekali dua kali aku komentar bahwa tidak perlu memasak dalam jumlah banyak dan terlalu banyak lauk, karena hanya kami yang makan. Beberapa menu berhasil membuat selera makan pulih dan kembali bergelora. Beberapa lebihnya, aku sama sekali tidak minat menyentuhnya. Seperti tidak cocok saja untuk lidahku.

Beda lagi kalau harus dibandingkan dengan masakan mama yang biasa, meskipun lauk sederhana aku tidak bisa menolak untuk mencicipi dan kemudian jatuh cinta pada rasa dan sajian setelahnya. Menu papa terkesan lebih kompleks dan dalam jumlah yang selalu berlebih menurutku. Padahal aku sudah bilang, yang makan hanya kita. Akan mubadzir bila nanti justru tidak habis dan malah terbuang. Ini memancing kesalku. Papa bersikukuh, beliau bilang aku bisa simpan untuk stok kemudian dihangatkan kembali ketika waktu makan selanjutnya. Maksudnya baik.

Hari ini sudah masuk hari ke tiga dengan lauk yang sama. Hal ini yang sebenarnya tidak aku suka. Mengulang lauk yang sama setiap hari, menghangatkan kembali makanan bersantan yang mana sungguh tidak baik dilakukan berulang kali. Pagi-pagi di waktu sahur perutku sudah menolak untuk dimasuki makanan. Mulut bekerja sama untuk tidak membuka sama sekali. Tapi, ketika makanan yang sudah terlanjur aku ambil sedikit untuk mengganjal perut tiba sempurna di piring aku termangu memegang sendok dan melihat nasi beserta lauknya.

Buru-buru aku mengucap istighfar berulang kali. Menenangkan hati yang sedari tadi menggerutu karena perkara lauk yang sama setiap hari. Perkara menu papa yang justru terlalu kompleks menurut versiku.

Kenapa aku harus kufur pada sebuah nikmat?

Seketika aku merasa bersalah pada papa, pada mama, pada diriku sendiri, terlebih pada Allah. O ow. Bukannya bersyukur karena papa masih ada untuk sementara melengkapi kebutuhanku karena mama tidak bisa, aku malah banyak protes ini itu ketika beliau melakukan semuanya dengan rasa sayang dan cinta untukku. Bukannya aku bersyukur karena aku masih punya makanan sahur dan berbuka yang enak dan lengkap ketika di luar sana mungkin ada saudaraku yang untuk makan saja susahnya luar biasa, aku malah malas-malasan menyuapkan nasi ke mulut yang padahal tanpa effort. Bukannya aku bersyukur Allah memberikan kemudahan di setiap urusanku, aku malah lalai untuk memaknainya.

اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ.

Semoga Allah memaafkan aku atas segala lalai dan kufur ini.

Perebut

Ada yang mati-matian jadi membenci orang lain karena merasa miliknya direbut. Padahal sejatinya di dunia ini tidak ada yang benar-benar menjadi milik kita. Ada yang kemudian jadi kesal tidak karuan ketika sesuatu yang dianggap miliknya diusik, padahal lagi-lagi dunia ini adalah fana. Termasuk segala apa yang ada di dalamnya.

Lantas kata “Perebut” menjadi tolakan kebencian yang pasti. Karena dia sudah merebut “apa yang aku punya”, maka aku akan membencinya.

Orang-orang yang merasakan ini, hatinya pasti tidak tenang. Diselimuti banyak sekali perandaian, penyesalan, penafikan, tidak terima terhadap keadaan kehilangan. Lantas bagaimana dengan orang-orang atau “substansi” yang dianggap “perebut”? Bagaimana rasanya? Apakah tenang, apakah lantas jadi bahagia, atau ikut-ikutan menjadi tidak karuan?

Sudut pandang dari orang yang merasa direbut miliknya, saat itu hanya berpusat pada dirinya dan miliknya. Seiring berjalannya waktu, kalau Tuhan mengizinkan sepertinya bisa saja berubah. Menerima, atas direbutnya kebahagiaan semu dan didapatkan kebahagiaan yg sebenarnya. Sesuatu yang memang untuknya.

Saranku, sebisa mungkin jangan jadi perebut. Sebesar apapun hasratmu, menyelinap dan merampas tidak akan pernah menjadikanmu puas.

Suara Berisik

Sekarang tengah malam, aku tadinya tertidur pulas. Karena belum sholat isya, jadi terbangun. Diingat-ingat lagi, kalau tidurnya belum sholat pasti secara ajaib malam menjadi lebih berisik di kepala dan telinga. Pada akhirnya pasti jadi terbangun, entah karena mimpi aneh tidak karuan atau suara yang terus berulang terdengar.

“Bangun!”.

Terima Kasih

Kalau dipikirin lagi, aku harusnya bilang terima kasih untuk setiap perlakuanmu yang membuat cenat-cenut kepala sepanjang tahun-tahun sebelumnya. Termasuk di dalamnya segala gerutu dan sumpah serapah yang aku layangkan pada benda-benda mati yang bahkan tidak peka dan merasa. Perlakuanmu mengantarkan aku pada titik singgah terbaik.

Sebelum aku melangkah lebih jauh, menyelam lebih dalam, atau bahkan mendaki lebih tinggi. Aku ingin mengucapkan terima kasih.

Semoga kamu bahagia seterusnya.